Tuesday, November 6, 2012

Blond Bond


Blond Bond


     Siapa yang tak kenal James Bond? Agen rahasia Inggris berinisial 007. Seorang agen rahasia yang tangguh, maskulin dan juga sangat tampan. James Bond adalah karakter fiksi karya Ian Fleming yang diciptakan pada tahun 1953, ia telah menghasilkan 12 novel dan dua cerita pendek James Bond. Setelah ia wafat, karakter James Bond terus dipopulerkan oleh para pengarang novel sejenisnya seperti Kingsley Amis, Christopher Wood, John Gardner, Raymond Benson, Sebastian Faulks, dan Jeffery Deaver. Para penulis tersebut tanpa mengurangi rasa penghargaan terhadap Ian Fleming sebagai pencipta karakter James Bond, terus-menerus menghadirkan cerita-cerita baru bagi penggemar agen rahasia inggris yang dikenal seluruh dunia ini.
     Citra James Bond yang dibentuk oleh Ian Fleming yang kemudian diilustrasikan oleh seniman komik Daily Express amat sangat mirip dengan gambaran film James Bond “Dr. NO” yang diperankan oleh Sean Connery. Sebenarnya sebelum Sean Connery, ada seorang aktor yang juga memerankan Bond pada tahun 1954 yaitu Barry Nelson.
     Dari tahun 1954 sampai tahun 2002 gambaran karakter Bond dalam film-film nya tetap dipertahankan. Gambaran -gambaran tersebut antara lain dari segi fisik : bertuguh tinggi, berdada bidang, berpakaian rapi, berambut hitam. Sedangkan segi non fisik : berlaku tenang walau dalam kondisi apapun, maskulin, pandangan mata dingin, cerdas dan cerdik, sehat dan bugar, dan selalu dapat meluluhkan hati wanita. Hampir pasti bahwa James Bond ini terlalu mustahil untuk ada di dunia nyata dengan segenap ciri yang diciptakan oleh Fleming.
     Namun di tahun 2006, gambaran umum yang telah melekat di pikiran pembaca dan para fans James Bond dibongkar dengan kehadiran Bond berambut pirang. Hal ini mendobrak pemikiran-pemikiran banyak orang bahwa James Bond harus berambut gelap. Tanpa merusak karya Fleming, Daniel Craig berusaha memproyeksikan James Bond yang baru. Dengan rambutnya yang pirang dan karakter wajahnya yang keras dan dingin berbeda dengan James Bond sebelumnya. Hal ini terbukti sukses dan banyak pihak yang merasa bahwa penggambaran James Bond oleh Daniel Craig lebih manusiawi dibanding sebelumya.
     James Bond tidak lagi berambut gelap melainkan pirang. Ia tidak lagi selalu berlaku tenang dalam segala situasi, ia marah dan bertindang berdasarkan emosi. Ia kelelahan dalam pengejaran, berusaha sekuat tenaga menyelesaikan misinya. James Bond tidak selalu tampil rapi dalam setiap situasi, rambutnya berantakan, wajahnya terluka dan memar, kemejanya robek dan bersimbah darah. Semua hal ini menggambarkan bahwa James Bond tidak lain adalah manusia biasa yang berusaha menyelesaikan tugas.
     Dengan James Bond yang diperankan oleh Craig, penonton mendapatkan kesan lebih realistik dan manusiawi. Hal ini tentu tidak meninggalkan citra Bond sebagai seorang playboy dan kesan maskulin tetap dipertahankan. Perubahan ini tentu tidak lepas dari pandangan penonton yang semakin lama makin cerdas dan selalu meminta sesuatu yang baru. Generasi-generasi baru mulai mempertanyakan perbedaan James Bond dengan pahlawan super, dan aksi-aksinya yang semakin mustahil dilakukan secara realistis. Dengan gambaran Bond yang baru, terbukti bahwa Bond bukanlah pahlawan super yang tidak pernah lelah, ia kelelahan, ia terjatuh, ia terluka dan ia juga emosional, dan penonton merasa lebih akrab dan merasa lebih realistis di tengah cerita-cerita fiksi dan petualangan agen rahasia Inggris ini.
     Daniel Craig membuktikan dirinya mampu memerankan Bond yang identik dengan rambut gelap, tenang dan cerdas. Ia mendobrak pandangan Fleming tanpa merusak esensi karakter Bond, ia menciptakan sesuatu yang baru bagi penonton serta menyuguhkan aksi yang lebih emosional dan berbahaya bagi jiwa sang agen rahasia James Bond. 

Young Adult


Young Adult


     Young Adult, sebuah film karya penulis ternama Diablo Cody. Kalian mungkin pernah mendengar film sebelumnya, JUNO. Yup, Diablo Cody memang bukan yang menyutradarai film tersebut, tapi ia yang menulis naskah cerita nya. Sama seperti JUNO, ia kembali berperan sebagai penulis naskah dalam film terbaru berjudul Young Adult.
     Film yang dibintangi oleh Charlize Theron ini mengisahkan seorang tokoh yang amat sangat kebingungan, kesepian, dan tidak bahagia. Malvis Gary, seorang wanita berusia 37 tahun, penulis novel, berwajah cantik, tinggi semampai, dan modis. Dalam gambaran awal film, terlihat bahwa tokoh ini yang diperankan sangat baik oleh Theron hidup dalam kesendirian, dan kecanduannya pada minuman beralkohol. Situasi pun berubah ketika ia menerima e-mail dari mantan kekasihnya semasa SMA, Buddy Slade. Buddy mengirimkan foto anak perempuannya yang baru lahir. Serentak Malvis merasa ingin kembali ke kehidupannya yang lama dan mengejar mantan pacarnya yang saat ini telah hidup berumah tangga dengan bahagia.
     Selama perjalanannya Malvis memenuhi otaknya dengan memori-memori masa lalu yang dianggapnya sempurna. Ia dengan sengaja menjebak dirinya ke dalam kenangan-kenangan bahagia yang telah lama berlalu. Setelah ia sampai di kota kecil tempat Malvis tumbuh besar, ia kembali bertemu orang-orang yang mengagumi dirinya semasa SMA. Malvis Gary, amat populer sebagai gadis tercantik di sekolahnya, ia mengencani banyak pria-pria atlit, namun diantara semua pria itu, Buddy Slade adalah pangeran berkuda putih miliknya. Malvis kembali mencoba segenap upayanya untuk mengambil Buddy kembali yang dianggapnya tidak bahagia. Ia membela segala perbuatannya dengan menyatakan bahwa ia berusaha menyelamatkan Buddy dari jerat pernikahan dan pekerjaan membosankan sebagai seorang ayah. Namun yang tidak dilihat Malvis adalah Buddy benar-benar mencintai Beth, istrinya dan amat mencintai anak perempuannya.Sedikit saja perilaku baik yang dilakukan Buddy terhadap Malvis, segera dimanipulasikan oleh Malvis.
     Sekilas terlihat tokoh utama dalam cerita ini yaitu Malvis Gary, amat jahat dan berusaha mengganggu pernikahan orang lain. Namun jika dilihat lebih jauh lagi, tokoh ini hanya sedang terjatuh dalam masalah yang amat pelik. Ia berusaha untuk bangkit, mencari kebahagiaan namun hal itu hanya membuatnya jatuh lebih jauh ke dalam kebahagiaan masa lalu. Tokoh ini dapat berarti siapa saja di dunia ini, ia dapat merepresentasikan siapa saja di lingkungan kita, atau bahkan kita sendiri. Dalam tagline film ini “Everyone gets old. Not everyone grows up” menjelaskan inti cerita ini. Bersikap dewasa bukan berarti hanya fisik dan umur yang menjadi ukuran. Namun bagaimana kita melepaskan masa lalu dan hidup dengan apa yang ada saat ini dan berusaha sebaik mungkin membentuk masa depan.
     Seperti dalam judulnya “Young Adult” dimana nama ini sebenarnya merupakan genre novel yang diperuntukkan untuk remaja namun lebih dewasa dari segi cerita. Young Adult juga merunjuk pada sang tokoh, dimana ia telah dianggap wanita dewasa dari segi umur dan fisik, namun masih kanak-kanak secara mental. Kembali Diablo Cody menciptakan karakter utama yang berlawanan sifat dalam satu tokoh. Juno yang mengemban tugas sebagai seorang ibu di usia muda, dan Malvis Gari seorang wanita dewasa bermental remaja. Dua tokoh ini merupakan tokoh nyata di kehidupan manusia. Konflik, drama, kisah cinta, dan permasalahan yang dialami semua orang. Diablo Cody, kembali membuat sebuah kisah yang dapat diambil pelajarannya oleh semua orang di seluruh dunia.

Kostum sebagai Alat Komunikasi dalam Period Movie


Kostum sebagai Alat Komunikasi dalam Period Movie


     Istilah “Period Movie” digunakan untuk mengelompokkan film-film yang bersetting jaman dahulu, entah itu kisah pada jaman PD I, Revolusi Industri, Revolusi Perancis, atau bahkan jaman dimana kerajaan-kerajaan tersebar luas di segala penjuru dunia. Salah satu contoh yang paling bisa menjelaskan karakter period movie antara lain film-film dari karya novelis Jane Austen (Pride & Prejudice, Persuasion,dll), karya-karya Shakespear (Romeo & Juliet,dll), atau film seri seperti The Tudors, bahkan film prasejarah seperti 10.000 BC, The Three Musketeers, dan TROY juga merupakan period movie. Kostum dalam berbagai jenis film memang memegang peran yang penting. Namun dalam period movie, kostum pada setting jamanya belum begitu beragam sehingga jenis dan bentuk kostum yang digunakan dalam setiap karakter amat berbeda dengan film-film yang bersetting jaman sekarang. Kostum pada period movie menunjukkan jaman film tersebut, tempat asal sang karakter, serta lebih dalam lagi yaitu status sosial, kelas serta sifat si karakter. Amat berbeda dengan kostum yang digunakan film bersetting jaman sekarang, ragam bentuk dan jenis kostum yang digunakan dapat dipakai semua pihak tanpa batasan ras dan tidak asing di mata para penonton yang memang hidup di jaman yang sama seperti di film.
     Karena para penonton dan period movie berada pada jaman yang berbeda, kostum digunakan untuk mempermudah komunikasi antara penonton dan sang karakter. Seperti contoh, dalam film The Three Musketeers tahun 2011, Aramis yang seorang pendeta selalu mengenakan aksen salib pada setiap kostumnya dan corak pada kostumnya tidak begitu mencolok dibanding D'Artagnan yang masih remaja dan bersifat bebas. Dalam film TROY, kostum yang dikenakan masyarakat Troy dan Sparta menggunakan bentuk dan warna berbeda, ini menunjukkan daerah mereka yang pada jaman itu menggunakan pakaian tradisional berbeda. Dengan berbedanya jenis kostum kita dapat dengan mudah mengenal sebuah karakter dalam period movie.
     Kostum memang memegang peran penting, namun dalam period movie, kostum merupakan salah satu alat bantu komunikasi antara penonton dan karakter dalam film. Jaman yang dipakai dalam period movie pada kenyataannya juga menggunakan pakaian atau fashion sebagai identitas sosial dan karakter manusia, berbeda dengan jaman sekarang dimana jenis pakaian secara umum dapat dipakai oleh berbagai masyarakat dari berbagai negara. Jaman sekarang setiap masyarakat bebas mengenakan pakaian apa saja, berbeda dengan jaman dahulu, dimana calana hanya boleh dipakai oleh kaum lelaki dan perhiasan emas hanya dapat dipakai kaum aristokrat. Perbedaan inilah yang membuat kostum dalam period movie berubah menjadi alat bantu komunikasi bagi penonton. Aneka ragam kostum dalam period movie juga dapat membantu penonton mengenal jaman mana yang dipakai sebagai setting dalam period movie. Apakah film tersebut berjaman PD I,II, ataukah jaman prasejarah, dapat dengan mudah kita kenal lewat jenis dan ragam kostum yang dipakai oleh setiap karakter dalam film tersebut.  

Buku versus Film


Buku versus Film


     Jika melihat judul diatas, buku dalam bentuk fisik seperti novel, kamus, ensiklopedi, dan lain sebagainya langsung muncul di benak kita semua. Bentuk buku yang kotak, tebal, penuh dengan halaman-halaman, dan sampulnya yang beraneka ragam warna, dan tektur. Lalu apa hubungannya dengan film? Buku dan film seperti saudara kandung, sama-sama merupakan karya seni yang dibuat berdasarkan imajinasi dan pengetahuan manusia. Buku dan film juga memiliki tujuan yang berbeda-beda namun pada dasarnya adalah sama. Buku dapat berfungsi menghibur, dan juga memberikan informasi. Begitu juga dengan film, ada film-film yang murni untuk menghibur dan ada juga film yang memberikan kita informasi berdasarkan kenyataan seperti contoh film-film documenter. Selain persamaan tersebut, buku dan film juga dapat saling mengispirasi satu dengan lainnya.
     Banyak dari kita yang mengetahui film-film yang dibuat atau terinspirasi dari cerita-cerita yang dimuat dalam buku. Seperti contoh yang paling banyak orang tahu adalah seri Harry Potter, The Lord Of The Rings, dan keempat seri Twilight. Siapa yang tidak mengenal judul-judul tersebut? Namun pertanyaan yang sebenarnya adalah apakah banyak yang mengetahui judul-judul diatas diambil berdasarkan cerita dari novel? Atau apakah semua orang yang menonton filmnya juga membaca bukunya? Kalaupun iya manakah yang lebih menginspirasi? Buku ataukah Film nya?. Saya sebagai penikmat buku khususnya novel juga seorang pecinta film menemukan banyak pertanyaan. Banyak dari buku-buku novel yang telah saya baca, diangkat kedalam film atau serial televisi, namun tidak jarang juga saya menonton filmnya terlebih dahulu dan setelah saya mengetahui bahwa itu terinspirasi dari cerita novel, baru saya mencari bukunya. Sebagai pecinta buku dan juga film, kebiasaan buruk bagi saya (atau mungkin juga sebagian besar orang) suka membanding-bandingkan antara apa yang ada di buku dengan apa yang terlihat dalam film. Buku dan film memang sama-sama sebuah karya seni dan juga bertujuan yang sama, namun terdapat perbedaan yang besar antara keduanya. Perbedaan tersebut terletak pada imajinasi manusia itu sendiri.
     Dalam sebuah buku, kita sebagai pembaca bebas berimajinasi walaupun tetap ada patokan-patokan khusus yang dibuat oleh pengarang untuk mengarahkan imajinasi kita. Seperti misalnya dalam novel Twilight, tokoh Edward Cullen dideskripsikan oleh Stephenie Meyer sebagai sosok yang sempurna dan tampan bagaikan seorang model. Dari kata-kata tersebut, munculah seorang Edward yang dibentuk berdasarkan imajinasi kita masing-masing. Semakin banyak informasi yang diberikan oleh pengarang kepada kita pembaca, maka semakin jelas dan detail imajinasi kita, namun tetap saja tidak ada satu pun Edward Cullen yang sama persis dengan imajinasi setiap orang. Imajinasi dibentuk berdasarkan ingatan dan pengalaman. Wajah-wajah orang yang pernah kita lihat, bentuk fisik, dan sifat-sifat yang terekam dalam ingatan kita diputar kembali untuk membentuk sebuah sosok yang baru. Tidak hanya manusia, namun hewan, situasi, keadaan sekitar, tempat, suhu udara, suara, bau, dan lain sebagainya juga merupakan bagian dari imajinasi yang berasal dari ingatan kita. Sedikit saja bagian dari ingatan kita merupakan modal bagi imajinasi. Karena imajinasi setiap orang berbeda-beda dan tidak ada gambaran khusus dari pengarang, tidak sedikit dari kita yang kecewa pada saat menonton filmnya.
     Gambar yang disuguhkan dalam film juga merupakan imajinasi manusia, namun bedanya hasil gambar tersebut berdasarkan dari hasil-hasil imajinasi terbaik beberapa orang yang digabungkan menjadi satu sehingga dapat memenuhi standart penulis. Penulis amat berperan penting dalam hal ini, karena penulis merupakan sosok yang menciptakan dunia yang ada dalam cerita tersebut. Dalam film terdapat banyak aspek yang saling mendukung, detail-detail dalam gambaran sebuah situasi seperti musik, cahaya, set, kostum, dan lain sebagainya terlihat jelas dalam film. Detail-detail tersebut tidak bisa kita nikmati dalam buku karena sang pengarang tidak menjelaskannya. Namun dalam film, detail seperti di atas amat dibutuhkan untuk mendukung emosi dan cerita dalam film. Bayangkan jika adegan duel sihir dalam Harry Potter tidak di dukung oleh musik, efek suara, dan detail-detail lainnya. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya gambaran lokasi-lokasi luar biasa dalam film The Lord Of The Rings jika kita hanya terpaku pada novelnya saja. Apa yang disuguhkan dalam film merupakan hasil gabungan imajinasi banyak orang, teknik komputer, dan telah mengalami penyempurnaan berkali-kali hingga sampai pada hasil akhir.
     Jika kita menilai mana yang lebih baik, buku ataukah film, jawabannya tentu berbeda-beda di setiap orang. Ada yang menganggap buku lebih baik dan ada juga yang menganggap film lah yang lebih baik. Buku dan film mempunyai plus dan minus nya masing-masing. Buku memberikan kebebasan imajinasi bagi pembaca untuk menciptakan gambaran dunia yang terbaik bagi masing-masing orang. Namun buku juga membatasi arah dan jalur imajinasi yang dibuat oleh pengarang dengan tidak adanya detail-detail yang mendukung. Film di lain pihak menyuguhkan gambarang yang kaya akan detail-detail yang dapat mendukung suasana dalam cerita. Namun di lain pihak, sering tidak adanya kesamaan imajinasi dari pembaca dan hal ini menyebabkan kekecewaan. Untuk menyelesaikan masalah ini, perlu di ketahui bahwa imajinasi setiap orang berbeda-beda dan dalam pembuatan sebuah film telah dilalui penyempurnaan berkali-kali sehingga apa yang kita saksikan adalah karya terbaik. Dalam pembuatan sebuah film juga diperlukan pertimbangan-pertimbangan sehingga tidak semua hal dalam buku dapat ditampilkan dalam film.
     Saya harap dengan keterbatasan informasi saya, tulisan di atas bisa memperluas pandangan kita, sehingga tidak lagi membanding-bandingkan buku dengan filmnya. Karena pada dasarnya setiap karya mempunyai keunikan masing-masing.