Monday, September 23, 2013

“BASED ON REAL EVENT' DAN “INSPIRED BY TRUE STORY” SISI AKURAT DALAM SEBUAH FILM


Seberapa banyak dari kalian yang menganggap bahwa sebaik apapun sebuah film, semua itu hanya fiktif belaka. Pandangan tersebut memang benar adanya, namun tidak 100% aspek dari film adalah fiktif. Beberapa bagian dalam film pasti ada kaitannya dengan dunia nyata bahkan benar – benar terjadi. Namun pertanyaannya adalah seberapa banyak? Seberapa banyak aspek dalam film yang benar – benar nyata?

Banyak dari film - film yang menggunakan kata “Berdasarkan Kisah Nyata”, atau “Terinspirasi Dari Kisah Nyata”. Namun seberapa akuratkah sebuah film yang menggunakan kata – kata seperti itu? Atau itu hanya trik pemasaran sebuah film? Saya sendiri tidak dapat mengukur dan sebenarnya juga bertanya – tanya hal yang sama. Namun pandangan saya adalah setiap film memiliki maksud yang berbeda – beda. Proses pembuatan sebuah film pun tidaklah gampang, butuh waktu berbulan – bulan bahkan bertahun – tahun untuk merampungkan sebuah film. Dan tidak hanya satu orang yang terlibat dalam pembuatan sebuah film. Jadi pandangan saya, film merupakan sesuatu yang kompleks tapi juga simple. Kompleks dalam artian terdapat berbagai macam aspek, perilaku, tujuan, makna, dan pihak – pihak yang terlibat di dalamnya. Simple dalam artian tujuan dasar dari sebuah film, dari dulu hingga sekarang tetap mendasar yaitu untuk menghibur.

Karena sifat film yang kompleks dan juga simple, maka sangat disarankan agar melihat film dengan pandangan kritis namun juga santai. Janganlah terlalu terbawa emosi jika menonton film tertentu karena tujuan utama film adalah untuk menghibur. Namun juga jangan terlalu santai menganggap film, karena terdapat kalimat – kalimat tersembunyi di dalamnya. Lalu jika sebuah film mengusung tema “Berdasarkan Kisah Nyata” apakah itu sama dengan film dokumenter? Jawabannya Tidak. Seperti yang telah disebutkan diatas, banyak pihak yang ikut campur dalam pembuatan film, dan pihak-pihak ini memiliki tujuannya masing – masing. Oleh sebab itu keakuratan sebuah film perlu dipertanyakan. Lain halnya dengan film dokumenter. Sifat film dokumenter adalah menyampaikan informasi seakurat mungkin, oleh karena itu banyak film dokumenter yang kontroversial.

Saya akan memberi contoh kasus 2 film yang mengusung tema “Berdasarkan Kisah Nyata” namun tidak sepenuhnya akurat. Pertama adalah film yang akan rilis berjudul “The Fifth Estate”. Film tersebut memang mengangkat tema konspirasi Wikileaks yang semua orang tahu itu benar – benar terjadi.Tokoh yang dimainkan oleh Benedict Cumberbatch pun benar – benar ada dan masih hidup yaitu Julian Asange. Lalu masalahnya dimana? Julian sendiri tidak mensuport film ini. Dalam Time Magazine, Julian mengaku isi dan pertikaian dalam film ini sepenuhnya didramatisir. Benedict sendiri menyetujui pernyataan Julian, ia mengatakan bahwa film ini bukanlah film dokumenter jadi sudah pasti beberapa adegan di dalamnya akan didramatisir sesuai dengan saran berbagai macam pihak. Namun Benedict juga menyatakan bahwa diluar pendramatisiran adegan, pesan dan kejadian yang ada di dalamnya sepenuhnya benar – benar terjadi. Contoh kedua adalah film “The Bling Ring”. Film yang mengangkat kejadian perampokan rumah para selebritis oleh sekelompok remaja ini memang benar – benar terjadi. Namun menurut salah satu tersangka, dalam film tersebut karakternya dibuat berlebihan, dan perilakunya sama sekali tidak seperti yang di filmkan.


Dari dua contoh diatas, terbukti bahwa keakuratan sebuah film perlu dipertanyakan. Tidak ada film yang 100% akurat. Banyak pihak yang terlibat di dalamnya yang juga ikut merubah keakuratan kisah aslinya. Pendramatisiran dalam film sering kali terjadi. Hal ini karena sifat manusia sendiri yang lebih tertarik dengan konflik dan drama. Oleh karena itu, agar lebih menarik perhatian penonton, film dibuat lebih dramatis, namun dramatisasi itu membuat keakuratan film semakin kabur. Karena tujuan dasar dari sebuah film adalah untuk menghibur penonton. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk tidak terlalu terpengaruh oleh apa yang kalian lihat di film. Berusahalah untuk menonton film dengan cerdas dan memikirkan apa tujuan dasar sebuah film. 

Friday, August 16, 2013

CHICK FLICK dan GUY FLICK (Gender dalam Genre Film)

     
     Apa sih chick flick dan guy flick? Chick Flick menurut kamus Merriam Webster adalah istilah bagi film yang dibuat khusus untuk menarik perhatian wanita. Sedangkan guy flick adalah sebaliknya, film-film yang diperuntukkan untuk menarik perhatian para pria. Film-film yang merupakan chick flick adalah film yang bergenre drama, drama romantis,komedi romantis, dan drama komedi. Sedangkan film-film yang mendapat istilah sebagai film guy flick adalah film action, thriller, action comedy, horor thriller, dan comedy thriller. Istilah ini sudah banyak digunakan sebagai bahasa gaul di kalangan remaja Amerika. Para pria cenderung menyukai film guy flick dan wanita menggemari film chick flick, namun bukan berarti pria tidak diperbolehkan menonton film chick flick juga sebaliknya. Istilah chick flick dan guy flick lebih kepada pemberian karakter terhadap film-film yang beredar di masyarakat, apakah film itu berkarakter seperti pria (guy flick) atau wanita (chick flick). Lalu seperti apa film yang berkarakter seperti pria/wanita? Penting ngak sih dibuat istilah seperti itu? Mari kita bahas.




     Film-film guy flick dianggap sebagai “sahabat” kaum pria seperti action, thriller, dan film-film adaptasi komik superhero. Karakter pria yang maskulin, keras, misterius, dan cool, diadaptasikan kedalam film-film seperti “300”, “Skyfall”, “Rambo”, “Fight Club”, “Fast and Furious”, “Transformer” dan lain sebagainya. Walau dibilang guy flick bukan berarti wanita tidak boleh menonton film-film tersebut. Namun memang tidak banyak wanita yang merasa terhibur melihat aksi tembak-menembak, aksi perang dan bela diri yang sadis, darah berceceran di mana-mana, dan gadget-gadget canggih. Para pria lebih mengenal karakter-karakter yang memang mencerminkan dirinya, dan lebih memilih menonton film “Transformer” dari pada “Twilight”, lebih mengidolakan “Rambo” dari pada “Edward Cullen”.




     Sebaliknya, dalam film chick flick, banyak ditekankan sisi emosional dalam film. Wanita yang berperasaan halus, lembut, dan emosional lebih dapat berkomunikasi dengan film-film drama, dan romance. Lain dengan pria yang menekankan sisi visual seperti ledakan, dan aksi bela diri, para wanita harus dirangsang secara emosional agar merasa terhibur. Seperti melihat adegan seorang pria berdiri di depan rumah kekasihnya di tengah hujan deras, seorang pria berlari mengejar kekasihnya yang pergi meninggalkannya, sekelompok wanita yang tengah bersenang-senang memilih gaun pengantin untuk sahabatnya. Hal-hal seperti itulah yang membuat wanita terhibur bahkan sampai menitikkan air mata. Film-film seperti “A Walk To Remember”, “One Day”, “Dear John”, dan film-film yang menyentuh secara emosional.


     Lalu apakah pemberian istilah guy flick dan chick flick itu penting? Hal ini penting jika dilihat dari sisi pemasaran. Film-film guy flick akan lebih bercorak seperti pria dalam posternya (cool, maskulin, misterius), dan menekankan sisi kelembutan bagi film chick flick. Hal ini agar lebih mudah bagi para masyarakat mengenali karakter film tersebut, serta lebih menarik perhatian bagi penonton yang dituju. Selain itu, istilah chick flick dan guy flick memudahkan para masyarakat untuk menggolongkan genre dalam film, karena sering kali satu film menekankan lebih dari satu genre seperti action comedy thriller, atau romantic comedy

Wednesday, May 8, 2013

Portraying Super Villain




     Banyak dari kita penggemar komik yang amat antusias ketika kisah superhero diangkat ke layar lebar, dan beberapa dari segudang film yang berasal dari cerita komik berakhir dengan kepuasan para penggemar atau malah sebaliknya. Hal ini tentu sudah pasti karena hanya ada dua pilihan bagi film yaitu bagus atau tidak. Saya tidak akan membahas soal film super hero secara luas namun hanya terbatas pada film yang diangkat dari komik. Mari kita lihat, ada 2 raja perkomikan barat, yaitu DC (Superman, Batman, Green Lantern, Cat Woman, dll) dan Marvel (Iron Man, Avengers, Thor, Captain America, dll) mereka saling bersaing mendapatkan perhatian pembaca dengan membuat karakter pahlawan super sebaik mungkin. Namun mari kita lihat kenyataan bahwa esensi dalam sebuah komik pahlawan super tidak hanya fokus pada sang pahlawan, namun juga si penjahat. Kedua hal tersebut saling membutuhkan, pahlawan tidak akan ada jika tidak ada penjahat, begitu sebaliknya. Saya akan menyampaikan opini pribadi tentang 2 karakter super villain yang sejauh ini begitu baik dimainkan oleh para aktor dalam layar lebar, saking hebatnya banyak dari kita justru bersimpati kepada si penjahat dibanding si pahlawan.



     Menduduki peringkat pertama sebagai karakter super villain yang amat baik dimainkan di layar lebar adalah karakter The Joker dalam film The Dark Night (2008) yang dimainkan oleh Heath Ledger . The Joker pernah muncul sebelumnya dalam film Batman tahun 1989 yang dimainkan oleh Jack Nicholson. Bukannya buruk, Jack Nicholson memang cukup baik memerankan Joker namun dalam layar lebar, kesetiaan karakter Joker seketika berubah. Joker yang ada di komik mempunyai sisi gangguan psikologis yang menyeramkan, namun dalam Batman, Joker hampir sepenuhnya terasa komikal seperti badut sirkus yang gemar bersenang-senang tanpa ada rasa gangguan psikologis yang terlihat. Di tangan Heath Ledger, The Joker dalam The Dark Night menjadi sosok yang amat nyata dan gila. Sisi gangguan psikologis nya amat terlihat hingga seperti penjahat psikopat dan inilah yang membuat karakter The Joker menjadi pusat perhatian dibandingkan si karakter utama yaitu Batman sendiri. Kerja keras Heath Ledger membuahkan hasil hingga membawanya pada penghargaan Academy Award dan menciptakan gelombang fans baru bagi karakter The Joker.



     Peringkat kedua sebagai karakter super villain yang dimainkan amat baik di layar lebar adalah karakter Loki dalam film Thor (2011) dan muncul kembali dalam The Avengers (2012) yang diperankan oleh Tom Hiddleston. Karakter Loki diambil dari dewa dalam mitologi Nordik, dimana ia adalah dewa sihir dan dewa yang paling jahil. Dalam komik, Loki tidak hanya pintar dalam sihir, namun ia juga cerdik, licik, dan tukang buat ulah, dibalik semua itu ia mempunyai sisi melankolis yang dimulai dari saat ia mengetahui bahwa ia anak asuh. Cukup simple sih sebenarnya, namun dalam film Thor, Tom Hiddleston membawa sisi gelap Loki lebih jauh lagi. Rasa iri dan sakit hati Loki kepada Thor begitu terasa sehingga dibalik sisi keagungan dewa penguasa sihir ia terlihat manusiawi dan amat nyata. Dalam film Avengers, kecerdikan dan kepintarannya dalam menyusun strategi membuatnya sulit ditebak hingga mampu membuat pusing lima pahlawan super Marvel sekaligus. Hasil kerja Tom Hiddleston dalam mengambarkan Loki membuat puas para penonton. Hal ini terlihat dari banyak penggemar komik maupun yang tidak mulai melirik Loki. Dalam Thor, Loki cukup menarik perhatian, namun dalam Avengers penggambaran Loki begitu memuaskan hingga mampu mencuri perhatian. Hal ini tidak mudah dikarenakan dalam Avengers, Tom Hiddleston harus bersaing dengan aktor kelas atas seperti Robert Downey Jr, Chris Evans, Mark Ruffalo, dan lainnya. Kerja keras Tom ternyata membuahkan hasil, tidak hanya penggemar komik, para wanita-wanita pun mulai berbondong-bondong melirik Tom Hiddleston.
     Jadi kesimpulannya adalah, dalam membawa karakter super villain, tidak cukup melihat sisi jahat dari sang tokoh, namun perlu juga mengembangkan sisi manusiawi sehingga membuat karakter tersebut mudah dicerna dan lebih realistis. Hal ini tentu dikarenakan media komik dan film merupakan media berbeda. Dalam komik, apapun bisa terjadi, namun dalalam film, jamgkauan penonton akan lebih luas sehingga perlu dibuat karakter yang membumi dan manusiawi. Tetapi tetap setia pada karakteristik yang ada dalam komik.