Tuesday, November 6, 2012

Buku versus Film


Buku versus Film


     Jika melihat judul diatas, buku dalam bentuk fisik seperti novel, kamus, ensiklopedi, dan lain sebagainya langsung muncul di benak kita semua. Bentuk buku yang kotak, tebal, penuh dengan halaman-halaman, dan sampulnya yang beraneka ragam warna, dan tektur. Lalu apa hubungannya dengan film? Buku dan film seperti saudara kandung, sama-sama merupakan karya seni yang dibuat berdasarkan imajinasi dan pengetahuan manusia. Buku dan film juga memiliki tujuan yang berbeda-beda namun pada dasarnya adalah sama. Buku dapat berfungsi menghibur, dan juga memberikan informasi. Begitu juga dengan film, ada film-film yang murni untuk menghibur dan ada juga film yang memberikan kita informasi berdasarkan kenyataan seperti contoh film-film documenter. Selain persamaan tersebut, buku dan film juga dapat saling mengispirasi satu dengan lainnya.
     Banyak dari kita yang mengetahui film-film yang dibuat atau terinspirasi dari cerita-cerita yang dimuat dalam buku. Seperti contoh yang paling banyak orang tahu adalah seri Harry Potter, The Lord Of The Rings, dan keempat seri Twilight. Siapa yang tidak mengenal judul-judul tersebut? Namun pertanyaan yang sebenarnya adalah apakah banyak yang mengetahui judul-judul diatas diambil berdasarkan cerita dari novel? Atau apakah semua orang yang menonton filmnya juga membaca bukunya? Kalaupun iya manakah yang lebih menginspirasi? Buku ataukah Film nya?. Saya sebagai penikmat buku khususnya novel juga seorang pecinta film menemukan banyak pertanyaan. Banyak dari buku-buku novel yang telah saya baca, diangkat kedalam film atau serial televisi, namun tidak jarang juga saya menonton filmnya terlebih dahulu dan setelah saya mengetahui bahwa itu terinspirasi dari cerita novel, baru saya mencari bukunya. Sebagai pecinta buku dan juga film, kebiasaan buruk bagi saya (atau mungkin juga sebagian besar orang) suka membanding-bandingkan antara apa yang ada di buku dengan apa yang terlihat dalam film. Buku dan film memang sama-sama sebuah karya seni dan juga bertujuan yang sama, namun terdapat perbedaan yang besar antara keduanya. Perbedaan tersebut terletak pada imajinasi manusia itu sendiri.
     Dalam sebuah buku, kita sebagai pembaca bebas berimajinasi walaupun tetap ada patokan-patokan khusus yang dibuat oleh pengarang untuk mengarahkan imajinasi kita. Seperti misalnya dalam novel Twilight, tokoh Edward Cullen dideskripsikan oleh Stephenie Meyer sebagai sosok yang sempurna dan tampan bagaikan seorang model. Dari kata-kata tersebut, munculah seorang Edward yang dibentuk berdasarkan imajinasi kita masing-masing. Semakin banyak informasi yang diberikan oleh pengarang kepada kita pembaca, maka semakin jelas dan detail imajinasi kita, namun tetap saja tidak ada satu pun Edward Cullen yang sama persis dengan imajinasi setiap orang. Imajinasi dibentuk berdasarkan ingatan dan pengalaman. Wajah-wajah orang yang pernah kita lihat, bentuk fisik, dan sifat-sifat yang terekam dalam ingatan kita diputar kembali untuk membentuk sebuah sosok yang baru. Tidak hanya manusia, namun hewan, situasi, keadaan sekitar, tempat, suhu udara, suara, bau, dan lain sebagainya juga merupakan bagian dari imajinasi yang berasal dari ingatan kita. Sedikit saja bagian dari ingatan kita merupakan modal bagi imajinasi. Karena imajinasi setiap orang berbeda-beda dan tidak ada gambaran khusus dari pengarang, tidak sedikit dari kita yang kecewa pada saat menonton filmnya.
     Gambar yang disuguhkan dalam film juga merupakan imajinasi manusia, namun bedanya hasil gambar tersebut berdasarkan dari hasil-hasil imajinasi terbaik beberapa orang yang digabungkan menjadi satu sehingga dapat memenuhi standart penulis. Penulis amat berperan penting dalam hal ini, karena penulis merupakan sosok yang menciptakan dunia yang ada dalam cerita tersebut. Dalam film terdapat banyak aspek yang saling mendukung, detail-detail dalam gambaran sebuah situasi seperti musik, cahaya, set, kostum, dan lain sebagainya terlihat jelas dalam film. Detail-detail tersebut tidak bisa kita nikmati dalam buku karena sang pengarang tidak menjelaskannya. Namun dalam film, detail seperti di atas amat dibutuhkan untuk mendukung emosi dan cerita dalam film. Bayangkan jika adegan duel sihir dalam Harry Potter tidak di dukung oleh musik, efek suara, dan detail-detail lainnya. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya gambaran lokasi-lokasi luar biasa dalam film The Lord Of The Rings jika kita hanya terpaku pada novelnya saja. Apa yang disuguhkan dalam film merupakan hasil gabungan imajinasi banyak orang, teknik komputer, dan telah mengalami penyempurnaan berkali-kali hingga sampai pada hasil akhir.
     Jika kita menilai mana yang lebih baik, buku ataukah film, jawabannya tentu berbeda-beda di setiap orang. Ada yang menganggap buku lebih baik dan ada juga yang menganggap film lah yang lebih baik. Buku dan film mempunyai plus dan minus nya masing-masing. Buku memberikan kebebasan imajinasi bagi pembaca untuk menciptakan gambaran dunia yang terbaik bagi masing-masing orang. Namun buku juga membatasi arah dan jalur imajinasi yang dibuat oleh pengarang dengan tidak adanya detail-detail yang mendukung. Film di lain pihak menyuguhkan gambarang yang kaya akan detail-detail yang dapat mendukung suasana dalam cerita. Namun di lain pihak, sering tidak adanya kesamaan imajinasi dari pembaca dan hal ini menyebabkan kekecewaan. Untuk menyelesaikan masalah ini, perlu di ketahui bahwa imajinasi setiap orang berbeda-beda dan dalam pembuatan sebuah film telah dilalui penyempurnaan berkali-kali sehingga apa yang kita saksikan adalah karya terbaik. Dalam pembuatan sebuah film juga diperlukan pertimbangan-pertimbangan sehingga tidak semua hal dalam buku dapat ditampilkan dalam film.
     Saya harap dengan keterbatasan informasi saya, tulisan di atas bisa memperluas pandangan kita, sehingga tidak lagi membanding-bandingkan buku dengan filmnya. Karena pada dasarnya setiap karya mempunyai keunikan masing-masing.      

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.