Buku
versus Film
Jika
melihat judul diatas, buku dalam bentuk fisik seperti novel, kamus,
ensiklopedi, dan lain sebagainya langsung muncul di benak kita semua.
Bentuk buku yang kotak, tebal, penuh dengan halaman-halaman, dan
sampulnya yang beraneka ragam warna, dan tektur. Lalu apa hubungannya
dengan film? Buku dan film seperti saudara kandung, sama-sama
merupakan karya seni yang dibuat berdasarkan imajinasi dan
pengetahuan manusia. Buku dan film juga memiliki tujuan yang
berbeda-beda namun pada dasarnya adalah sama. Buku dapat berfungsi
menghibur, dan juga memberikan informasi. Begitu juga dengan film,
ada film-film yang murni untuk menghibur dan ada juga film yang
memberikan kita informasi berdasarkan kenyataan seperti contoh
film-film documenter. Selain persamaan tersebut, buku dan film juga
dapat saling mengispirasi satu dengan lainnya.
Banyak
dari kita yang mengetahui film-film yang dibuat atau terinspirasi
dari cerita-cerita yang dimuat dalam buku. Seperti contoh yang paling
banyak orang tahu adalah seri Harry Potter, The Lord Of The Rings,
dan keempat seri Twilight. Siapa yang tidak mengenal judul-judul
tersebut? Namun pertanyaan yang sebenarnya adalah apakah banyak yang
mengetahui judul-judul diatas diambil berdasarkan cerita dari novel?
Atau apakah semua orang yang menonton filmnya juga membaca bukunya?
Kalaupun iya manakah yang lebih menginspirasi? Buku ataukah Film
nya?. Saya sebagai penikmat buku khususnya novel juga seorang pecinta
film menemukan banyak pertanyaan. Banyak dari buku-buku novel yang
telah saya baca, diangkat kedalam film atau serial televisi, namun
tidak jarang juga saya menonton filmnya terlebih dahulu dan setelah
saya mengetahui bahwa itu terinspirasi dari cerita novel, baru saya
mencari bukunya. Sebagai pecinta buku dan juga film, kebiasaan buruk
bagi saya (atau mungkin juga sebagian besar orang) suka
membanding-bandingkan antara apa yang ada di buku dengan apa yang
terlihat dalam film. Buku dan film memang sama-sama sebuah karya seni
dan juga bertujuan yang sama, namun terdapat perbedaan yang besar
antara keduanya. Perbedaan tersebut terletak pada imajinasi manusia
itu sendiri.
Dalam
sebuah buku, kita sebagai pembaca bebas berimajinasi walaupun tetap
ada patokan-patokan khusus yang dibuat oleh pengarang untuk
mengarahkan imajinasi kita. Seperti misalnya dalam novel Twilight,
tokoh Edward Cullen dideskripsikan oleh Stephenie Meyer sebagai sosok
yang sempurna dan tampan bagaikan seorang model. Dari kata-kata
tersebut, munculah seorang Edward yang dibentuk berdasarkan imajinasi
kita masing-masing. Semakin banyak informasi yang diberikan oleh
pengarang kepada kita pembaca, maka semakin jelas dan detail
imajinasi kita, namun tetap saja tidak ada satu pun Edward Cullen
yang sama persis dengan imajinasi setiap orang. Imajinasi dibentuk
berdasarkan ingatan dan pengalaman. Wajah-wajah orang yang pernah
kita lihat, bentuk fisik, dan sifat-sifat yang terekam dalam ingatan
kita diputar kembali untuk membentuk sebuah sosok yang baru. Tidak
hanya manusia, namun hewan, situasi, keadaan sekitar, tempat, suhu
udara, suara, bau, dan lain sebagainya juga merupakan bagian dari
imajinasi yang berasal dari ingatan kita. Sedikit saja bagian dari
ingatan kita merupakan modal bagi imajinasi. Karena imajinasi setiap
orang berbeda-beda dan tidak ada gambaran khusus dari pengarang,
tidak sedikit dari kita yang kecewa pada saat menonton filmnya.
Gambar
yang disuguhkan dalam film juga merupakan imajinasi manusia, namun
bedanya hasil gambar tersebut berdasarkan dari hasil-hasil imajinasi
terbaik beberapa orang yang digabungkan menjadi satu sehingga dapat
memenuhi standart penulis. Penulis amat berperan penting dalam hal
ini, karena penulis merupakan sosok yang menciptakan dunia yang ada
dalam cerita tersebut. Dalam film terdapat banyak aspek yang saling
mendukung, detail-detail dalam gambaran sebuah situasi seperti musik,
cahaya, set, kostum, dan lain sebagainya terlihat jelas dalam film.
Detail-detail tersebut tidak bisa kita nikmati dalam buku karena sang
pengarang tidak menjelaskannya. Namun dalam film, detail seperti di
atas amat dibutuhkan untuk mendukung emosi dan cerita dalam film.
Bayangkan jika adegan duel sihir dalam Harry Potter tidak di dukung
oleh musik, efek suara, dan detail-detail lainnya. Tidak pernah
terbayangkan sebelumnya gambaran lokasi-lokasi luar biasa dalam film
The Lord Of The Rings jika kita hanya terpaku pada novelnya saja. Apa
yang disuguhkan dalam film merupakan hasil gabungan imajinasi banyak
orang, teknik komputer, dan telah mengalami penyempurnaan
berkali-kali hingga sampai pada hasil akhir.
Jika
kita menilai mana yang lebih baik, buku ataukah film, jawabannya
tentu berbeda-beda di setiap orang. Ada yang menganggap buku lebih
baik dan ada juga yang menganggap film lah yang lebih baik. Buku dan
film mempunyai plus dan minus nya masing-masing. Buku memberikan
kebebasan imajinasi bagi pembaca untuk menciptakan gambaran dunia
yang terbaik bagi masing-masing orang. Namun buku juga membatasi arah
dan jalur imajinasi yang dibuat oleh pengarang dengan tidak adanya
detail-detail yang mendukung. Film di lain pihak menyuguhkan
gambarang yang kaya akan detail-detail yang dapat mendukung suasana
dalam cerita. Namun di lain pihak, sering tidak adanya kesamaan
imajinasi dari pembaca dan hal ini menyebabkan kekecewaan. Untuk
menyelesaikan masalah ini, perlu di ketahui bahwa imajinasi setiap
orang berbeda-beda dan dalam pembuatan sebuah film telah dilalui
penyempurnaan berkali-kali sehingga apa yang kita saksikan adalah
karya terbaik. Dalam pembuatan sebuah film juga diperlukan
pertimbangan-pertimbangan sehingga tidak semua hal dalam buku dapat
ditampilkan dalam film.
Saya
harap dengan keterbatasan informasi saya, tulisan di atas bisa
memperluas pandangan kita, sehingga tidak lagi membanding-bandingkan
buku dengan filmnya. Karena pada dasarnya setiap karya mempunyai
keunikan masing-masing.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.